download

ERA PERSAGI
Zaman pergerakan yang ditandai dengan terselenggaranya Sumpah Pemuda 1928, dan
pecahnya Perang Asia Timur dengan Jepang sebagai pemenangnya mempengaruhi geliat
seni lukis di tanah air. Mazhab Mooi Indie lantas dikecam dan dikritik habis, dianggap
hanya mengabadikan keindahan alam Indonesia saja dan kurang tanggap terhadap
kenyataan di sekitarnya yang tidak semuanya indah, serba enak, tenang dan damai.
Di sisi lain, pengembangan pada teknik melukis sangat diperhatikan pada masa itu,
sehingga seni lukis realisme Indonesia makin memiliki identitas pribadi. Paska Sumpah
Pemuda, terjadilah polemik kebudayaan yang riuh rendah dalam media massa. Terutama
pada kurun waktu 1935-1939. Para pelukis tidak mau ketinggalan dan ikut ambil bagian.
Tokoh-tokoh semacam Lee Man Fong, Ui Tiang Un, Henk Ngantung, Siauw Tik Kwie,
Pirngadi, Subanto, Imandt, Jan Frank, Rudolf Bonnet ikut pula berdebat.
Sindudarsono Sudjojono (1913-1986) dan Affandi Koesoema (1907-1990) adalah dua
tokoh yang paling menonjol pada masa itu. Berbeda dengan Affandi yang pendiam,
Sudjojono adalah tokoh yang keras dan pemberang. Selain sebagai pelukis, dia juga
kritikus seni lukis berlidah tajam. Pak Djon – begitu panggilan akrabnya – kerap
mengecam Basoeki Abdullah sebagai tidak nasionalistis, karena hanya melukis
perempuan cantik dan pemandangan alam. Kritik Pak Djon itu tentu saja membuat
berang Basoeki.
Pak Djon dan Basoeki kemudian dianggap sebagai musuh bebuyutan, bagai air dan api,
sejak 1935. Namun di luar itu, Pak Djon yang memang memulai karirnya sebagai seorang
guru sekolah menengah dianggap pionir yang mengembangkan seni lukis modern khas
Indonesia. Pengikut dan muridnya banyak, sehingga komunitas seniman, menjulukinya
sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia Baru.
Pak Djon lahir dari keluarga transmigran asal Pulau Jawa, buruh perkebunan di Kisaran,
Sumatera Utara. Namun sejak usia empat tahun, ia menjadi anak asuh. Yudhokusumo,
seorang guru HIS, tempat Djon kecil sekolah, melihat kecerdasan dan bakatnya dan
mengangkatnya sebagai anak. Yudhokusumo, kemudian membawanya ke Batavia pada
1925. Djon menamatkan HIS di Jakarta. Kemudian SMP di Bandung dan SMA Taman
Siswa di Yogyakarta. Dia pun sempat kursus montir sebelum belajar melukis pada RM
Pirngadi selama beberapa bulan dan pelukis Jepang Chioji Yazaki di Jakarta.
Bahkan sebenarnya sedari awal dia lebih mempersiapkan diri menjadi guru para calon
pelukis. Dia sempat mengajar di Taman Siswa. Setelah lulus Taman Guru di Perguruan
Taman Siswa Yogyakarta, ia ditugaskan Ki Hajar Dewantara untuk membuka sekolah
baru di Rogojampi, Madiun pada 1931. Namun, Sudjojono yang berbakat melukis dan
banyak membaca tentang seni lukis modern Eropa, itu akhirnya lebih memilih jalan
hidup sebagai pelukis profesional.
Pada 1937, dia pun ikut pameran bersama pelukis Eropa di Kunstkring Jakarya, Batavia.
(Jakarta). Keikutsertaannya pada pameran itu, sebagai awal yang mempopulerkan
namanya sebagai pelukis. Setelah itu, bersama pelukis Agus Djaja, Abdulsalam, Rameli,
dan beberapa pelukis yang bekerja untuk bidang reklame di percetakan, dia mendirikan
Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Usia Persagi tidak panjang. Dibentuk 23
Oktober 1938 di salah satu Sekolah Dasar Jakarta di Gang Kaji dan bubar karena dipaksa
Jepang pada 1942.
Di Persagi, Pak Djon menjadi Sekretaris dan sekaligus Juru Bicaranya. Diangkat sebagai
Ketua adalah Agus Djaja dengan anggota-anggota L Setijoso, Rameli, Abdulsalam, S
Sudiardjo, Saptarita Latif, H Hutagalung, S Tutur, Sindusisworo, T.B. Ateng Rusy’an,
Syuaib Sastradiwirja, Sukirno dan Surono. Pelukis Wakidi di Padang dan
Hendrodjasmoro di Yogyakarta merupakan anggota di luar Jakarta.
Semboyan ekstrim Persagi adalah : Teknik tidak penting. Yang penting isi jiwa ini
tumpahkan di atas kanvas !
Lukisan Sudjojono punya ciri khas kasar, goresan dan sapuan bagai dituang begitu saja
ke kanvas. Objek lukisannya lebih menonjol pada pemandangan alam, sosok manusia,
serta suasana. Pemilihan objek itu lebih didasari hubungan batin, cinta, dan simpati
sehingga tampak bersahaja. Lukisannya yang monumental antara lain berjudul : Di
Depan Kelambu Terbuka, Cap Go Meh, Pengungsi dan Seko.
Ketiga pelukis itu yakni Basoeki Abdullah, Sindudarsono Sudjojono dan Affandi itu
hingga kini dianggap sebagai ikon maestro seni lukis Indonesia. Beberapa bulan sebelum
Pak Djon meninggal di Jakarta, 25 Maret 1985, pengusaha Ciputra mempertemukan Pak
Djon dan Basuki bersama Affandi dalam pameran bersama di Pasar Seni Ancol, Jakarta.
Sehingga Menteri P&K Fuad Hassan, ketika itu, menyebut pameran bersama ketiga
raksasa seni lukis itu merupakan peristiwa sejarah yang penting.