Welcome to eBizzAsia magazine e-Government Begitu banyak pemerintah daerah dan lembaga pemerintahan yang memiliki situs di dunia maya. Namun itu tidak berarti mereka menyadari penuh tentang eGovernment. Jangan-jangan itu hanya me too project. Volume I Nomor 03 - Desember 2002 - Januari 2003 Bisa jadi sekedar latah, karena kabupaten atau instansi tetangga sudah punya situs. Lantas dengan mencontoh situs yang dipandang pimpinan lembaga cukup bagus, maka digelarlah me too project tersebut. Dengan menghadirkan sedikit informasi tentang daerah atau lembaga yang terkadang justru tidak pernah terup-date, foto diri dan naskah pidatonya; maka sang pemimpin lembaga atau daerah bersangkutan sudah merasa telah mengimplementasikan e-Government. Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Syamsul Mu’arif memiliki keprihatinan terhadap munculnya gejala semacam itu. Dalam seminar “Sisfonas sebagai tulang punggung aplikasi e-Government”, yang diselenggarakan oleh Global Technology di Jakarta, akhir Oktober lalu, Syamsul Mua’rif menekankan bahwa e-Government bukan hanya menggelar situs dan e-mail address. Ia menekankan definisi e-Government yang bersumber pada definisi bank dunia, yang menekankan pada pemanfaatan teknologi informasi oleh institusi pemerintah untuk meningkatkan kinerjanya dalam hubungannya dengan masyarakat, komunitas bisnis dan kelompok masyarakat terkait lainnya. Namun, ia juga mengakui bahwa gejala di atas muncul http://www.ebizzasia.com/0103-2002/egov,0103.htm (1 of 2)7/31/2005 5:32:49 PM Welcome to eBizzAsia magazine karena hingga sekarang belum pernah ada rincian "e-Government bukan hanya tentang apa yang dimaksud dengan e-Government itu menggelar situs dan e-mail address..." sendiri. Akibatnya, muncul persepsi bahwa websites plus e-mail address adalah e-Government. Padahal, eSyamsul Mu'arif, Menteri Komunikasi dan Government yang dikehendaki adalah penggunaan Informasi RI seluruh sumber daya yang dimiliki sebuah lembaga pemerintah atau negara untuk meningkatkan pelayanannya. “Model bisnis inilah yang dikenal dengan istilah e-Government,” ujar Menkominfo. Itu sebabnya, ia menggambarkan bahwa e-Government akan memiliki konteks lebih luas, yang membangun hubungan antara pemerintah dengan masyarakat (Government to Citizen/G2C), antara pemerintah dengan kalangan bisnis (Government to Business/G2B), dan antara pemerintah dengan pemerintah lainnya (Government to Government/ G2G). SIDE BAR Kabupaten Takalar: Dengan 500 Juta Membangun eGovernment Ketidakadaan rincian semacam itu dimanfaatkan oleh para pedagang untuk masuk dan “berjualan” websites dan digitalisasi dalam proses kerja pemerintahan. Namun itu jauh dari apa yang dimaksud dengan e-Government. Apalagi bila menyangkut data. Dalam persoalan data ini, Menkominfo, Syamsul Mu’arif mengingatkan masih perlu adanya upaya untuk merestrukturisasi dan mengintegrasikan data yang dimaksud. Bahkan, untuk data tertentu diperlukan semacam upaya untuk dipergunakan secara bersama oleh sejumlah instansi yang terkait. Tentu, hal ini membutuhkan pula penunjukan atas lembaga validasinya. Jadi, untuk bisa menciptakan sistem informasi yang bersifat nasional, maka diperlukan penyediaan infrastruktur sebelum elektronisasi (i before e). Maksudnya bukan hanya yang bersifat fisik, tapi juga kontennya. Masalahnya adalah hampir seluruh instansi pemerintah dan lembaga negara tidak menyadari akan hal tersebut. Itu sebabnya, kini di negeri dengan ribuan pulau ini juga memiliki ribuan situs web yang tidak terkoordinasi dan tidak terintegrasi sama sekali. Terlepas dari persoalan tersebut, persoalan yang juga menonjol pada saat ini adalah bagaimana parameter yang bisa digunakan secara tetap dalam persoalan pendekatan, strategi dan parameter keberhasilan implementasi konsep e-Government. Jajaran Menkominfo nampaknya tidak menyediakan petunjuk ke arah tersebut, mengingat fokus utamanya pada pewujudan i before e. Lantas dari mana hal tersebut bisa diketahui? Dr. Jos Luhukay, Partner pada Ernst & Young, dalam seminar yang sama, menunjukkan kehadiran foto dan naskahnaskah pidato dari kepala daerah atau pimpinan sebuah lembaga pemerintah yang terdapat di situs web sebagai hal yang mubazir. “Siapa yang membutuhkannya,” ujar Yos Luhukay. Jos benar adanya, namun budaya feodalisme dalam birokrasi sudah sedemikian tebalnya. Sehingga yang terpenting dan, ini berarti harus dimunculkan, secara tetap adalah figur sang pemimpin, bukan sistem dan prosedurnya. Akibatnya, muncul kecenderungan baru yang tentu menggelikan, situs menjadi lahan berdirinya monumen yang lebih menggambarkan pemimpinnya, bukan sistem dan prosedur pemerintahan dan perijinan layanan yang diberikan kepada masyarakat. continue to next page © 2003 eBizzAsia. All rights reserved http://www.ebizzasia.com/0103-2002/egov,0103.htm (2 of 2)7/31/2005 5:32:49 PM Welcome to eBizzAsia magazine e-Government Begitu banyak pemerintah daerah dan lembaga pemerintahan yang memiliki situs di dunia maya. Namun itu tidak berarti mereka menyadari penuh tentang eGovernment. Jangan-jangan itu hanya me too project. Volume I Nomor 03 - Desember 2002 - Januari 2003 continued from previous page Jos sendiri merekomendasikan pendekatan yang berasal dari sejumlah sumber, seperti kebijakan mengenai strategi e-Government Amerika Serikat, dan kriteria yang dipergunakan dalam kompetisi Eagle Award yang dikeluarkan Council of State Government di Amerika Serikat. Pola pendekatan semacam ini, menurutnya, direkomendasikan karena strateginya ditujukan untuk transformasi sebuah sistem birokrasi yang berumur lebih dari 200 tahun. Selain lengkap, bahan acuannya bisa diperoleh secara cuma-cuma dan implementasinya sangat transparan. Acuan terhadap sistem birokrasi negara paman Sam ini tampaknya bisa diterima. Salah satu alasannya adalah otonomi daerah yang sedang berjalan saat ini memang dirancang mengikuti pola otonomi di Amerika Serikat. Basis otonomi daerah di Indonesia adalah kabupaten atau kota, yang dipandang setara dengan county atau district di Amerika Serikat. Bukan pada propinsi seperti di kebanyakan negara, termasuk juga di Malaysia. Dari sisi budaya birokrasi, bisa-bisa justru penjiplakan http://www.ebizzasia.com/0103-2002/egov,0103-page2.htm (1 of 3)7/31/2005 5:33:01 PM Welcome to eBizzAsia magazine tersebut justru menjadikan momok bagi pemerintahan di Indonesia, yang justru tidak pernah tersentuh oleh reformasi yang telah berlangsung berapa tahun belakangan. Akibatnya, transparansi yang terjadi hanya bisa bersifat semu dan menimbulkan resistensi dari kalangan birokrasi sendiri. Apalagi birokrasi di sini telah menjadi mesin administrasi raksasa yang memiliki kepentingannya sendiri. “Visi e-Government, seperti berorientasi pada rakyat bukan birokrasi, berorientasi pada hasil (result), dan berbasis pada pasar dan kaidah-kaidah ekonomis” Jos F. Luhukay, Partner, Ernst & Young Itu sebabnya, visi e-Government, seperti yang dikemukakan oleh Jos, seperti berorientasi pada rakyat bukan birokrasi, berorientasi pada hasil (result), dan berbasis pada pasar dan kaidah-kaidah ekonomis; bisa jadi akan dibelokan dan dihambat secara terang-terangan. Visi strategis yang lain adalah pola pemerintahan yang dituju berbentuk click-and-mortar. SIDE BAR Kabupaten Takalar: Dengan 500 Juta Membangun eGovernment Untuk bisa mengarah ke sana, diperlukan pemenuhan persyaratan strategis seperti kepemimpinan yang tegar dan berfokus pada sasaran strategis. Kedua, ketersediaan rencana jangka menengah (sekitar 3-5 tahun) yang berisikan rancangan arsitektur, kebijakan pengembangan, dan garis-garis besar rencana penerapan. Ketiga, perlunya rekayasa ulang dari semua sistem dan prosedur kepemrintahan yang dipergunakan dalam e-Government. Di sini masalah pun bermunculan. Pertama, seperti yang pernah dilontarkan President HP Indonesia, Elisa Lumbantoruan, masalah klasik di Indonesia saat ini ada dua hal. Pertama, ada pemimpin yang tidak memiliki visi. Kedua, ada pemimpin yang memiliki visi, tetapi tidak bisa mengeksekusi visinya. Masalah lain adalah ketersediaan rencana jangka menengah. Pertanyaan pertama yang muncul adalah lembaga atau instansi pemerintah mana yang menjadi penanggung jawab dari penyediaan rencana tersebut. Hal yang sama juga terjadi dalam rekayasa ulang. Pertanyaan kedua adalah dalam budaya birokrasi di Indonesia, figur lebih penting dari sistem. Akibatnya, bila terjadi pergantian puncuk pimpinan, maka sistem dan prosedur yang ada pun ikut berganti. Terlepas dari itu, Jos menunjuk bahwa bila semua bisa dilampaui maka akan ada manfaat strategis dari eGovernment, seperti penyederhanaan layanan untuk rakyat guna memenuhi agenda peningkatan tingkat-hidup masyarakat. Kedua, terjadinya perampingan birokrasi pemerintah untuk mempercapat respon dan pengambilan tindakan. Ketiga, kemudahan akses informasi, baik untuk rakyat maupun sesama birokrasi. Keempat, penyederhanaan proses dan penghematan biaya operasi. Kelima, dukungan untuk program–program pembangunan di daerah. Pendekatan kedua di atas, tampaknya diharapkan bisa menerobos redtape dari birokrasi di sini, yang cenderung dipandang tambun dan lamban. Sehingga diperlukan terobosan yang berlawanan arah, yang biasanya perampingan dilakukan lebih dahulu sebelum elektronisasi menjadi dilakukan bersamaan dengan elektronisasi. Hanya saja seberapa besar “pengorbanan” tersebut harus dilakukan, dan bagaimana antisipasi terhadap resistensi yang akan bermunculan akibat perampingan tersebut. Jos melihat bahwa implementasi e-Government akan memiliki cakupan, seperti yang diutarakan oleh Menkominfo di atas. Ini meliputi G2C atau G2B atau G2G dan Internal, yang ditujukan bagi hubungan internal pemerintah untuk mendukung proses perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan. Secara teknis implementasi e-Government dapat diukur dengan kriteria dan tolok ukur yang terdiri dari pengamatan atas implementasi sistem dan teknologi informasinya. Komponen utamanya masih tetap struktur sistem dan prosedur yang telah ditetapkan. Namun, dukungan dan peran teknologi informasi dan komunikasi tetap saja vital. Ia juga merekomendasikan pengukuran atas implementasi dan mutu web-site, struktur dan proses kerja yang mendukungnya akan menjadi tolok ukur yang realistis. Karena What you see is what you get menjadi kaidah dan tolok ukur terpenting. Kedua, enumerasi dari manfaat, relevansi dan mutu menjadi metrics yang akan digunakan. http://www.ebizzasia.com/0103-2002/egov,0103-page2.htm (2 of 3)7/31/2005 5:33:01 PM Welcome to eBizzAsia magazine Secara operasional, kehadiran websites seharusnya membuat pemerintah daerah lebih accessible dan responsif terhadap kebutuhan rakyat yang ada. Bahkan, yang diperkirakan akan muncul di kemudian hari. Ini bisa dilihat dari jumlah e-mail yang masuk atau respon terhadap “polling” yang disediakannya. Kedua, rasio e-mail yang berisikan keluhan, pujian dan pertanyaan yang bisa direspon dalam jangka waktu tertentu. Ketiga, jumlah topik yang masuk melalui website dan dibahas di badan legislatif daerah, lembaga yudikatif dan unit-unit eksekutif pemerintah daerah. Sedangkan untuk komponen inovatif dan transaksional bisa diukur dengan rasio penyederhanaan proses layanan dan proses kepemerintahan lainnya. Ini tentunya dengan membandingkan cara lama dengan cara baru. Jumlah inovasi yang tepat-guna dan tepat-biaya dalam jangka waktu tertentu. Jumlah transaksi yang dapat ditangani, dibandingkan dengan jumlah transaksi yang dilakukan secara manual, jika bersifat keuangan, maka perlu dibandingkan nilai transaksi yang dilakukan melalui website dan secara manual. Sementara perampingan proses, bisa diukur antara lain dengan membandingkan antara lamanya proses online dengan lamanya proses manual. Jumlah proses manual, atau katakanlah proses lama yang dapat disederhanakan atau bahkan dihapus sama sekali. Lihat juga berapa biaya operasional pemerintah daerah yang dapat dihemat, dan penurunan biaya transaksi yang harus dibayarkan oleh masyarakat. Hanya saja pada kedua butir terakhir bisa-bisa terjadi peningkatan secara signifikan. Ini bisa terjadi karena selama ini biaya operasional menjadi tanggungan pemerintah daerah, sehingga jumlahnya menjadi sangat tidak signifikan. Namun, ketika diberlakukan e-Government, biaya operasional yang tadinya tidak diperhitungkan dan menjadi beban pemerintah justru dibebankan sepenuhnya ke masyarakat pengguna jasa. Hal yang sama juga terjadi pada butir terakhir, yaitu biaya transaksi. Biaya transaksi yang harus dibayarkan biasanya cenderung meningkat pada saat awal implementasi e-Government. Lucunya, biaya tersebut tidak mengalami penurunan pada tahun-tahun berikutnya, tapi justru ikut meningkat. Alasannya, biaya investasi eGovernment dalam pelayanan tersebut dibebankan sebagian besar atau sepenuhnya ke masyarakat pengguna jasa layanan tersebut. Lihat saja kasus Kartu Tanda Penduduk dan Surat Ijin Mengemudi. Jadi, e-Government tidak selalu berarti efisien, karena pada dasarnya, masyarakat tetap menjadi sapi perah abadi bagi birokrasi di negeri ini. •ew previous page © 2003 eBizzAsia. All rights reserved http://www.ebizzasia.com/0103-2002/egov,0103-page2.htm (3 of 3)7/31/2005 5:33:01 PM
© Copyright 2024 Paperzz