download

Lebarnya jurang egovernment di Indonesia - eGovernment - eBizzAsia Agustus-Sept 2003
Volume I Nomor 10 - Agustus-September 2003
eGovernment tenyata
masih menjadi masalah
dalam pelaksanaannya.
Deputi Menteri
Komunikasi
dan Informasi bidang
Jaringan, Cahyana
Ahmadjajadi pernah
mengakui bahwa dalam
persoalan ini Indonesia
memang benar-benar
negara kepulauan
dengan
ribuan e-island yang
terpisah-pisah dan
saling terisolir.
Rudi Rusdiah, CEO Micronics Internusa, menyebutkan
bahwa hingga kini ia mencatat ada sekitar 325 website
eGovernment yang dimiliki oleh pemerintah daerah.
Jumlah ini tentu mengejutkan. Bayangkan hingga Juli
lalu, tercatat Indonesia memiliki 438 kabupaten dan kota
dengan 30 propinsi di seluruh tanah air. Artinya lebih dari
separuh daerah otonom telah memiliki situs, dan bisa
dikatakan hampir seluruh propinsi telah memilikinya. “Ini
belum terhitung situs-situs milik lembaga atau instansi
pemerintahan yang berdiri sendiri,” jelas Rudi.
Pada kenyataannya, Rudi menyebutkan bahwa hampir
keseluruhan situs daerah otonom tersebut tampil dalam
bentuk sekadar hadir di web. Andrari Grahitandaru, Head
of Automation System Division BPPT mensinyalir ada
semacam ‘perlombaan’ di antara daerah otonom untuk tampil di web. Sekalipun ia juga melihat banyak
kejanggalan dari kehadiran mereka, mulai dari penggunaan nama domain yang salah hingga pemaksaan agar tidak
dianggap tertinggal oleh daerah yang sudah memiliki situs.
Indikasi yang sama juga pernah dilontarkan oleh Country Manager Intel Indonesia Corp., Budi Wahyu Jati.
“Mereka punya asosiasi pemerintahan daerah sehingga kalau berkumpul bisa dijadikan bahan ledekan oleh temantemannya bila tidak memiliki website,” jelas Budi. Itulah yang membuat pemerintah daerah berlomba-lomba
terjun membangun eGovernment dengan menggelar situs mengenai daerah masing-masing tanpa memikirkan
faktor lainnya. “Pokoknya digelar, soal masyarakatnya banyak yang non e-literacy tidak pernah disinggungsinggung dalam perencanaan,” tambah Budi.
http://www.ebizzasia.com/0110-2003/egov,0110,01.htm (1 of 5)7/31/2005 5:40:00 PM
Lebarnya jurang egovernment di Indonesia - eGovernment - eBizzAsia Agustus-Sept 2003
Persoalan yang kemudian muncul adalah besarnya biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pemerintah daerah,
disamping juga terjadi bahwa kebanyakan dari situs tersebut hanya sekedar web presence. Bisa jadi fenomena ini
dikatakan sekedar mengibarkan bendera daerahnya masing-masing. Di mata Rudi, hal itu merupakan langkah
awal dari empat langkah menuju eGovernment yang dicita-citakan. Namun sayangnya, setelah hadir pun situs
tidak bisa memberikan informasi yang detil baik untuk dimanfaatkan oleh kalangan masyarakat maupun kalangan
bisnis.
Informasi yang disajikan sekedar informasi umum tanpa ada keterangan rinci. Informasi mengenai demografis
daerah saja, terkesan sekedar asal jadi karena diambil dari sumber-sumber lama. Bisa jadi orang mengunjungi
situs tersebut malah menjadi bingung, apalagi sebelumnya ia telah memiliki data dari sumber yang berbeda. Mau
tidak mau mereka sendirilah yang harus menentukan data mana yang harus dipakai untuk keperluannya.
Bingung mengenai data dan informasi terutama untuk informasi rinci tentang pengurusan perijinan. Bagian
terbesar dari 325 situs pemerintah otonom itu ternyata hanya memberikan informasi secara garis besar. Situs
pemda Mojokerto (www.mojokerto.go.id) misalnya, untuk pengurusan KTP memberikan informasi sekadarnya.
Kalau di DKI Jakarta, pengurusan KTP cukup dengan pergi ke kantor Kelurahan setempat setelah mendapatkan
surat keterangan dari RT/RW. Maka di Mojokerto, untuk mengurus KTP diperlukan lagi langkah ekstra, yaitu
mendapat pengesahan dari kantor Kecamatan. Jadi prosedurnya bukannya kian singkat, tapi malahan lebih
panjang.
Informasi tentang pengurusan perijinan lainnya juga sama. Sekadar informasi mengenai dasar hukum, persyaratan
dan prosedur. Karena sekedar hadir maka hasilnya juga sama saja. Artinya eGovernment dalam artian kehadiran
situs tidak lantas berarti pemerintah juga otomatis menjadi lebih transparan.
“ Mengurus segala sesuatu di sini, dimulai dengan menemukan saluran yang tepat untuk kepentingan itu,” kata
Otto Schucz, Technical Advisor PT Satin Abadi di Jepara, Jawa Tengah. Bila itu tidak bisa dilakukan, maka
pengusaha harus bersiap-siap ‘mengobok-obok’ otak, tenaga, dan kantongnya guna menemukan saluran yang
tepat. Namun di mata Rudi, kehadiran tersebut sudah mewakili arti penting dari keterbentukan eGovernment
pada tahap selanjutnya. “Paling tidak ini jembatan untuk melangkah ke tahapan berikutnya,” jelasnya.
Sejumlah situs pemerintah daerah otonom lainnya sudah memasuki tahapan kedua yaitu web presence dan back
office automation. Atau bahkan tahapan ketiga, web presence, back office automation dan executive information
systems. Tengoklah situs milik pemerintah otonom seperti kabupaten Takalar di Sulawesi Selatan; Kabupaten
Berau, Kutai Timur dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur.
Menurut Rudi, Kabupaten Takalar merupakan kabupaten
pertama yang mengimplementasikan Sistem Administrasi
Satu Atap (SIMTAP) secara digital. Sistem ini
memungkinkan pengurusan berbagai perijinan tidak lagi
menjadi permainan ‘petak umpet’. Paling tidak hingga
saat ini 12 perijinan diproses secara digital dalam kantor
tersebut. Proses tersebut terintegrasi dengan kantor
pimpinannya, sehingga bisa dimonitor setiap saat guna
pengambil keputusan.
Sebelum kehadiran SIMTAP, mengurus KTP menjadi
pekerjaan yang melelahkan bagi semua warga negara ini.
Paling tidak dibutuhkan waktu seminggu untuk
memperoleh KTP setelah masa pengajuannya. Biayanya
pun tergantung kesepakatan antara petugas loket dengan
warga. Kehadiran SIMTAP ternyata mampu mengakhiri
‘mimpi buruk’ setiap warga dalam setiap pengurusan
http://www.ebizzasia.com/0110-2003/egov,0110,01.htm (2 of 5)7/31/2005 5:40:00 PM
Lebarnya jurang egovernment di Indonesia - eGovernment - eBizzAsia Agustus-Sept 2003
Rudi Rusdiah, CEO Micronics Internusa
perijinan semacam itu.
Setelah tiga tahun beroperasi, SIMTAP kabupaten Takalar
telah mampu memproses sekitar 1000 perijinan sebulannya, dan menghasilkan pemasukan sebesar Rp. 400 juta
atau sekitar 10% dari PAD pertahunnya. Kehadiran SIMTAP bukan hanya telah menjadi ‘profit center’ bagi
Kabupaten Takalar, tapi juga telah bisa menghilangkan mimpi buruk dan ekonomi berbiaya tinggi bagi masyarakat
dan kalangan bisnis dalam pengurusan perijinan.
Sedikit berbeda dengan kabupaten Takalar adalah Kabupaten Kutai Timur di Kalimantan Timur. Kabupaten ini
telah mengembangkan Badan Sistem Informasi Manajemen Pemerintahan Kabupaten (SIMPEKAB). Pembentukan
badan ini merupakan upaya pemerintah Kabupaten Kutai Timur untuk mendukung program pembangunan dan
meningkatkan efisiensi dan kinerjanya. Badan ini bertugas menyediakan informasi dan data yang akurat, cepat
dan memberikan layanan prima bagi masyarakat pemakai jasanya.
SIMPEKAB Kutai Timur merupakan perluasan dari Pelayanan perijinan satu atap. SIMPEKAB juga terdiri dari
layanan sistem informasi manajemen geografis (SIMGEO), kepariwisataan (SIMPAR), agribisnis/industri (SIMAGRI),
kepegawaian (SIMPEG), keuangan (SIMKEU), perlengkapan daerah (SIMPERDA), statistik (SIMSTA), penanaman
modal (SIMPMD), lingkungan (SIMLIDA), ketenagakerjaan (SIMNAKER).
Menurut Rudi, untuk semua jenis layanan perijinan di bawah SIMPTAP bisa diselesaikan kurang dari 60 menit sejak
formulir diserahkan di loket pelayanan. Bahkan dalam waktu-waktu belakangan ini, proses penyelesaiannya bisa
dilakukan hanya dalam waktu 36 menit sejak dokumen diserahkan. “Padahal ini hanya proses digital belum lagi
proses online,” ungkap Rudi.
Untuk mengembangkan ke arah proses online, pemerintah Kabupaten Kutai Timur tampaknya masih terbentur
pada persoalan masih vakumnya regulasi tentang security dan Cyberlaw, serta regulasi disclosure informasi
online. Di samping masih kecilnya penetrasi telekomunikasi sehingga masih lebar jurang digital yang ada dalam
masyarakat di Kabupaten Kutai Timur.
Hambatan semacam inilah yang menghentikan gerak maju pemerintah yang ingin memanfaatkan IT sebagai
sarana layanan bagi masyarakatnya. Untuk memperkecil jangkauan layanan keempat pemerintah otonom telah
merintis kemitraan dengan kalangan swasta secara aktif, termasuk pebisnis warung internet. Hanya saja mungkin
keterbenturannya ada pada persoalan tingkat e-literacy dalam masyarakatnya.
Yang menjadi masalah justru pada tingkat yang lebih luas, yakni terjadi ketimpangan besar dalam pelaksanaan
eGovernment dalam skala nasional. Hanya segelintir daerah otonom dan propinsi saja yang mampu melompat ke
tahapan ketiga, sementara sebagian terbesarnya justru mengalami stagnasi dalam pengembangannya. Artinya
sekedar web presence, dengan memiliki situs dan email adress. Itupun tanpa adanya keinginan untuk
mengembangkan lebih lanjut.
Perbedaan implementasi yang sedemikian lebar, akan bertambah lebar lagi bila pemerintah berhasil menelurkan
UU ITE di tahun mendatang. Sekalipun itu tidak sempurna dan hanya merupakan payung besar bagi rangkaian
Cyberlaw. Namun kehadiran UU ITE sudah pasti akan melecut ketimpangan besar dalam implementasi
eGovernment.
Tidak heran bila kemudian pemerintah pusat, melalui Kominfo sedang berancang-ancang dengan membentuk task
force yang melibatkan pihak swasta guna merumuskan standar pengembangan eGovernment. Sekalipun sempat
kecewa dengan upaya-upaya pengimplementasian eGovernment yang pernah terjadi, Rudi merasa optimis bahwa
upaya saat ini akan lebih bermanfaat. “Dulu upaya serupa selalu di-treatment sebagai proyek belaka dan
berujung di ‘Seminar Ria’,” ungkapnya.
Optimisme Rudi beserta sejumlah rekannya lebih didasarkan pada kenyataan bahwa kini masyarakat kita jauh
lebih kritis dan terbuka. Sementara situasi saat ini bukan lagi situasi yang sama dengan masa-masa pesta sebelum
keruntuhan perekonomian. “Sekarang ini masanya ‘cuci piring’ dan ‘bersih-bersih’ setelah pesta berakhir.”
http://www.ebizzasia.com/0110-2003/egov,0110,01.htm (3 of 5)7/31/2005 5:40:00 PM
Lebarnya jurang egovernment di Indonesia - eGovernment - eBizzAsia Agustus-Sept 2003
Katanya seraya tertawa. Di samping adanya kenyataan bahwa implementasi eGovernment saat ini sudah berada
di ambang chaotic dan sangat sporadis.
Ketegasan pemerintah pusat dengan turunnya Inpres No. 3/2003 tentang kebijakan dan strategi pengembangan
eGovernment tidak saja memperkuat legitimasi Kominfo sebagai koordinator dalam lini ICT secara nasional. Tapi
juga memberikan keleluasaan bagi Kominfo untuk melakukan koordinasi lintas sektoral yang sebenarnya amat
mahal di negeri ini.
Dengan begitu bisa terbentuk suatu standar yang jelas dan obyektif dalam memberi arah bagi pengembangan
implementasi eGovernment di Indonesia. Ini bukan hanya bisa memperkecil jurang ketimpangan yang sudah ada,
tapi juga mempermudah pengintegrasiannya secara nasional di masa mendatang. • ew
foto-foto:
Dahlan Rebo Paing
http://www.ebizzasia.com/0110-2003/egov,0110,01.htm (4 of 5)7/31/2005 5:40:00 PM
Lebarnya jurang egovernment di Indonesia - eGovernment - eBizzAsia Agustus-Sept 2003
© 2003 eBizzAsia. All rights reserved
http://www.ebizzasia.com/0110-2003/egov,0110,01.htm (5 of 5)7/31/2005 5:40:00 PM